Parasite, Bukan Soal Menumpang Tapi Soal Bertahan Hidup

img src /The New Yorker

Kadang, film tidak hanya bercerita. Ia menyerang. Memeluk kita dengan tenang, lalu menusuk saat kita lengah.

Parasite bukan horor. Tapi ia membuat kita gelisah seperti sedang disaksikan oleh sesuatu yang tak terlihat. Ia bukan thriller. Tapi tensinya terus merangkak, menetes, menyesap ke dalam ubun-ubun, lalu meruntuhkan segalanya dalam satu hujan malam yang tidak pernah berhenti.

Satu tinggal di rumah mewah dengan dinding kaca, taman bersih, dan cahaya matahari.
Yang satu lagi… hidup di semi-basement. Dengan jendela kecil tempat mabuknya laki-laki buang air kecil jadi hiburan sore.

Dan di antara keduanya, ada aroma. Harfiah. Bau “orang miskin”, kata anak kecil itu.

Tapi yang lebih busuk bukan aroma tubuh.
Melainkan sistem yang membuat orang harus mencuri tempat hanya untuk bisa bernapas.

Bong Joon-ho tidak hanya menyutradarai film ini. Dia membedah dunia lewat lensa kamera.

Dia menyusun lapisan sosial seperti kotak-kotak Bento yang terlihat rapi di permukaan, tapi menyimpan keganjilan ketika dibuka. Dia tidak berteriak. Tidak memberi pesan moral. Tapi setiap adegan terasa seperti cermin yang retak: memperlihatkan kita dari sisi yang enggan kita akui.

Dan kita tidak bisa berpaling.

Dari sinematografi ada pelajaran tentang ruang dan hierarki. Tangga bukan sekadar tangga. Tangga adalah status. Adalah jarak. Setiap naik-turun bukan hanya gerak, tapi makna.

Rumah keluarga Park dipenuhi ruang kosong, garis lurus, warna terang.
Rumah keluarga Kim penuh bayangan, dinding lembab, ruang sempit.
Dan ketika hujan turun, air tidak hanya membawa banjir — ia membawa kenyataan bahwa bahkan bencana pun terasa beda tergantung dari posisi sosial kita.

Song Kang-ho seperti biasa tidak pernah kelihatan sedang 'berakting'. Dia adalah ayah, pecundang, pengangguran, pencari martabat, sekaligus korban.

Tapi kejutan paling tajam datang dari Cho Yeo-jeong, si ibu rumah tangga yang terlalu “baik”. Baik karena privilese. Baik karena bisa. Bukan karena harus. Di tangannya, kepolosan bisa berubah jadi ketidakpedulian yang mengiris pelan.

Keluarga Kim dan keluarga Park tidak dibedakan oleh kepribadian, tapi oleh kondisi. Dan di situlah Parasite membuat kita berhenti menghakimi, dan mulai merasa bersalah.

Kita ingin menyebut keluarga Kim sebagai “penipu”. Tapi film ini menolak penilaian cepat. Karena apa yang mereka lakukan bukan kejahatan... tapi adaptasi. Mereka tidak ingin mencuri. Mereka hanya ingin sedikit tempat di dunia yang terlalu sempit bagi orang miskin.

Dan ketika semuanya meledak, kita sadar:
Parasite bukan tentang parasit individual.
Tapi tentang sistem yang membuat satu pihak harus menggigit yang lain hanya untuk bertahan.

Parasite adalah film yang membuat kita terdiam, bukan karena keindahan naratifnya, tapi karena rasa malu yang ditinggalkannya.

Ia menyentuh luka yang tidak berdarah.
Mengguncang tatanan yang selama ini dianggap normal.
Dan ketika lampu bioskop menyala, kamu tahu: ini bukan sekadar film.

Ini realitas, yang hanya terasa terlalu menyakitkan saat dikemas begitu indah.

Comments

Popular posts from this blog

Estetika Ketidaksempurnaan yang Diperhitungkan

Komedi Gelap dalam Jas Hukum dan Trauma

Drawing Closer: Perjalanan Emosi yang Tak Terlupakan