Komedi Gelap dalam Jas Hukum dan Trauma

img src/ Variety
 

“You don’t save me. I save me.”

Ada rasa pahit yang tertinggal di tenggorokan setelah menamatkan Better Call Saul. Ini bukan sekadar prekuel Breaking Bad. Ini adalah tragedi panjang tentang harga diri, kesepian, dan transformasi—yang dibungkus dalam guyonan, setelan jas murah, dan kantor di belakang salon kuku.

Orang mengenalnya sebagai Saul Goodman. Tapi serial ini memaksa kita memanggilnya dengan nama aslinya—Jimmy McGill. Dan nama itu membawa beban. Bukan cuma karena dunia di sekelilingnya menuntut dia menjadi sesuatu yang “lebih baik”, tapi karena dia sendiri tidak pernah benar-benar tahu siapa dirinya.

Jimmy bukan Walter White. Dia tidak punya ego sebesar gurun di Albuquerque. Dia hanya ingin diakui. Dianggap. Dicintai.

Dan mungkin… dimengerti?

Dunia Better Call Saul bukan tempat yang penuh ledakan atau cartel war setiap episode. Ia tenang. Ia lambat. Tapi justru dari kelambatan itulah muncul ketegangan dan penderitaan yang lebih mengiris. Setiap shot seperti mengatakan, “kamu tahu ini akan berakhir buruk, tapi kamu tidak bisa berhenti menonton.”

Kim Wexler. Chuck McGill. Howard Hamlin. Semua karakter ini bisa dengan mudah menjadi “pendukung” dalam cerita Jimmy. Tapi Better Call Saul menolak itu. Ini bukan tentang protagonis yang naik panggung sendirian. Ini tentang seluruh orkestra yang memainkan simfoni kehancuran.

Dan pada akhirnya, semua orang—secara tragis—menjadi kompas moral satu sama lain… yang saling gagal.

Ada episode yang tak butuh dialog panjang. Cukup lensa diam di atas wastafel, atau jendela toko, dan kamu tahu: seseorang sedang kehilangan dirinya sedikit demi sedikit. Penggunaan warna di serial ini bisa menjadi tesis sendiri. Merah yang muncul ketika bahaya mendekat. Hijau saat pilihan moral dilemparkan di atas meja. Cahaya kuning yang hangat tapi palsu—seperti pelukan dari dunia yang tidak benar-benar peduli.

Dan suara? Tidak ada yang sepi seperti sunyi di Better Call Saul.

Ada banyak momen lucu. Saul adalah komedian tragis. Tapi seperti badut yang tampil di pesta ulang tahun anak-anak yang sudah terlalu dewasa, leluconnya kadaluarsa. Tidak ada yang benar-benar tertawa. Kita tahu, di balik slip lidah dan penipuan yang flamboyan, dia sedang mencoba menyelamatkan dirinya dari kehampaan.

Tapi dia tidak bisa. Karena seperti kata Kim: “You turn off that part of you. The thing that makes you good.”

Episode terakhir Breaking Bad meledak secara literal. Tapi Better Call Saul? Ia meledak secara emosional. Perlahan. Dengan dialog. Dengan tatapan kosong. Dengan keheningan. Dengan keputusan yang tidak harus diambil, tapi tetap diambil. Dan itu lebih menyakitkan dari peluru manapun.

Better Call Saul adalah tragedi Shakespeare versi hukum Amerika, dicampur sinematografi arthouse, dan humor absurd. Tidak ada serial prekuel yang pernah berhasil menyamai kualitas ini. Bahkan, banyak yang bilang: ini lebih baik dari Breaking Bad.

Dan aku tak bisa membantahnya.

Karena Better Call Saul tidak membuat kita bertanya: “Apakah dia akan menjadi jahat?”
Tapi: “Kapan kita sendiri mulai melepaskan bagian terbaik dari diri kita?”

Comments

Popular posts from this blog

Drawing Closer: Perjalanan Emosi yang Tak Terlupakan

Chloë Grace Moretz: Versatility is Power

Hollywood? Ini Aksi Jepang yang Lebih Membumi dan Menegangkan